Menikah sambil kuliah
Aku menikah saat masih semester 3. Jargon menikah sambil kuliah kuyakini sebagai sesuatu yang indah. Cerita-cerita dalam novel, ditambah tampilan teman-teman yang sedang menggebu-gebu dalam berpacaran sedikit banyak mengganggu hasrat kewanitaanku. Terlebih pemahamanku tentang pacaran membuatku enggan memperpanjang angan-anganku. Aku memutuskan untuk menikah.
Ternyata jauh panggang dari api. Keindahan yang kuimpikan tidak berselang lama. Apalagi jargon itu. Terasa sangaaaaaat berat menjalani hari. Kuliahku sebelumnya memang terasa sangat mudah. Begitu menikah menjadi berpuluh kali lipat lebih berat. Suamiku malas mengerjakan tugas kuliah. Aku yang mengerjakan. Kebetulan memang kami sekelas. Saat ada tugas apapun, aku mengerjakan dua. Untukku dan suamiku. Terkadang justru dia yang mendapat nilai lebih.
Kesulitan memuncak saat buah hati kami hadir. Waktu itu kami telah menyelesaikan seluruh teori sehingga tinggal mengerjakan skripsi. Suami sangat jarang membantuku untuk urusan apapun. Jangankan membantu. Tugas kuliahnya sendiri saja tidak dikerjakan. Kami, terutama aku disibukkan dengan tugas baruku sebagai seorang ibu. Aku benar-benar memulai dari nol. Aku memilih untuk cuti sejenak dari aktivitas kampus.
Aku tersadar kembali dengan kewajiban skripsiku saat seorang kawan kami diwisuda. Aku tergerak untuk kembali ke kampus. Mengajukan skripsi. Hampir saja kami diskualifikasi. SUami yang tahu pertama kali, langsung menyerah. Hatiku rontok mendengar ceritanya bahwa Kepala Jurusan tidak berkenan menerima judul skripsi kami. Tetapi aku tidak diam saja. Kukejar sampai kemanapun Pak Kajur sebut nama. Ternyata masih dapat kuurus dengan bantuan mantan Kajurku sebelumnya. Yang akhirnya aku memohon kepada beliau untuk menjadi pembimbing skripsiku. Alhamdulillah.
Suamiku ya tetap saja nglokro. Untuk hal seperti itu tentu aku tidak bisa membantu. Sudah sejak semester 3 tugas apapun aku yang membuat. Semua informasi aku carikan. tetapi untuk bergerak, tentu harus dia sendiri. Tetapi semua sia-sia. Terserahlah. Perjalananku baru dimulai kembali.
Sungguh berat meninggalkan putra kecilku. Tetapi Pembimbingku tak putus mendukung. Ujian datang justru dari suami. Aku baru dapat menulis saat putraku tertidur. Memang dia sangat jarang mengasuh bayi kami. saat sholatpun jika aku memintanya untuk menjaga, dia tidak mau. Dia selalu menyuruhku untuk menidurkannya dahulu, bahkan untuk sholat Maghrib. Malam hari saat aku sibuk menulis dan Yassin terbangun, dia enggan meninggalkan televisi untuk sekedar menemani bayi kecil kami. Terpaksa aku beranjak. Namun ketika aku kembali setelah Yassin tertidur, komputer telah diambil alih. Bukan untuk bekerja atau mengerjakan tugas, tetapi untuk bermain kartu. Suamiku paling suka bermain spider solitaire. Jika sudah memegangnya, bisa saja dia tidak tidur semalaman hanya untuk menyelesaikannya. Dan jika aku meminta kembali, belum tentu dia mau memberikan. Seperti itu terjadi hampir setiap malam.
Semua upaya skripsi aku lakukan sendiri. Satu atau dua orang yang paling berjasa adalah para pembimbingku. Suamiku sendiri jika diminta untuk memfoto copy saja dia tidak mau. Sekalipun jika dia kebetulan hendak keluar dan melewati tempat fotocopy. Tidak berhenti sampai disana.
Hal yang sangat terekam jelas adalah saat ujian skripsi. Hari itu hari Sabtu. Jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah meminta dua orang untuk membantuku. Suami dan seorang sahabat dekatku.Aku adalah orang yang takut merepotkan. Oleh karena itu aku hanya meminta orang-orang yang kuanggap paling dekat denganku. Kumohon betul-betul untuk datang sebelum jam pendadaranku dimulai.Selebihnya, aku mengurus sendiri.
Aku memesan snack, makan, kurang lebih untuk 30 orang dosen dan karyawan. Aku meminjam perlengkapan, LCD, OHP (untuk persediaan jika LCD tidak bisa atau sedang dipakai). Aku telah persiapkan dengan mantap penampilanku. Bahkan aku membuat media sebagai Plan B jika ada kemungkinan listrik mati. Aku datang jam 07.00 untuk mempersiapkan mental. Padahal ujian baru dimulai pukul 13.00. Aku sholat, baca quran, baca-baca segala macam yang sudah kusiapkan. Selebihnya aku berdiam diri, berdzikir memohon ketenangan dan kelancaran dalam ujian pendadaranku.
Waktu menunjukkan pukul 12.00. Belum ada tanda-tanda dua orang terdekatku itu hadir. Aku mulai resah. Setelah sholat Dhuhur akhirnya aku lakukan semuanya sendirian. Mengambil kardus makan, Snack sekaligus. Jika dua kali jalan tentu akan memakan waktu. Kemudian aku ambil LCD. Beruntung LCD tidak sedang dipakai, sehingga aku tidak perlu mengambil OHP. 12.45 aku baru datang dari mengambil snack dan kardus makan. Semua mata memandangku. Aku menyadari itu, sayangnya mengapa tidak ada yang tergerak membantu. Bagaimana tidak, tangan kiri membawa seplastik besar kardus makan dan tangan kanan kardus snack. Sementara aku sendiri sedang hamil 8 bulan. Peluh dan keluh hampir saja menumpahkan air mataku. Yaa Allah..
Menjelang ruangan pendadaran aku melihat sahabatku tertegun melihatku. Aku diam. Perlu beberapa waktu baginya untuk berlari-lari mendatangiku. Aku tetap saja diam. Tapi syukurlah.. dia datang. Dia mengira ada banyak orang yang membantuku, sehingga dia tidak segera datang. Dia juga sedang hamil ternyata. Hamil muda, baru 2 bulan. Alhamdulillah ada orang yang di belakang saat aku ujian.
Sebenarnya persiapanku sudah terkoyak oleh kekecewaanku. Tetapi rupanya Allah masih berkenan membantuku menata hati di mnit-menit terakhir. Presentasiku sukses, meski ada satu dosen penguji yang kurang puas. Nilaiku A- . Dan suamiku..
Dia tidak nampak batang hidungnya. Hingga presentasi berakhir.
Yaa Allah.. Semoga suatu saat aku bisa merelakan peristiwa ini dalam rumah tangga kami.