Doa Pak Tua
Kisah ini saya tuliskan sebagai pengingat bagi saya untuk tidak merendahkan seseorang atau melihat seserorang hanya dari penampilannya saja. Pada suatu malam, saat itu antara waktu maghrib dan isya. Aku pulang dari membeli makan malam. sebelumnya uang yang tersisa di tanganku tinggal dua puluh ribu. Aku mesti menghemat, tetapi karena pulang sore dan tidak sempat memasak ya mau tidak mau harus beli. Aku beli lauk saja dua lele goreng, delapan ribu. Satu untuk malam ini dan satunya untuk sarapan besok pagi. Aku tidak beli nasi kerena masih ada sedikit di rumah. Cukuplah untukku dan anakku. Mendekati rumah kumelihat seorang bapak tua berambut gondrong putih, kumal dan terlihat kotor. Dia seperti sedang mengorak-arik tanah dekat selokan kecil depan rumah kami. Sekali melihat dalam hati berkesimpulan bahwa dia orang gila. Tepat ketika melintasinya aku berjalan bergegas. " Mbah..", sapa anak perempuanku Iza yang berusia 2 tahun. Dia seolah tertarik dengan Pak Tua itu. "Hey", Aku melarangnya untuk mendekat dan menarik tangannya halus. Sampai depan rumah Iza menolak masuk, dia ingin bermain di luar, tetapi karena hari sudah malam aku tetap memaksanya untuk masuk. Dia menangis. Saat aku berusaha membujuknya, Pak Tua tadi datang berlari-lari menuju ke tempat kami. Dalam hati aku takut. Apalagi malam itu suami tidak pulang karena ada tugas di luar kota. Bisikan hati menyuruh untuk segera masuk dan menutup pintu sebelum Pak Tua itu sampai tetapi Iza tetap sulit diajak masuk. " meneng.. meneng. Iki tampani dhisik" Pak Tua itu datang membawa buntalan tas kresek hitam. Tergopoh gopoh dibukanya buntalan itu. Apa isinya? pikirku. Paling bongkahan tanah yang dimainkannya tadi. Ternyata ayam goreng, hanya satu. Dicuilnya ayam tadi dan diberikan pada Iza. Aku tertegun. Iza diam seketika dan masuk rumah. akhirnya aku yang menerimanya. masih hangat, batinku. Sekedar membalas, aku menawarkan padanya nasi. Ternyata dia mau. Kuambilkan separuh nasi yang kupunya. Sepertinya terlalu sedikit jadi kuberikan semua nasi yang ada. Sebelumnya aku khawatir dia akan masuk rumah, ternyata tidak. Dia hanya menunggu di pintu bersama anakku. Diam. Dia meminta lagi teh hangat. Sayang kami tidak biasa membuat teh, air panas juga kebetulan tidak ada. Kutawarkan air putih, dia bilang minta uang untuk beli rokok. Aku kembali berpikir negatif, tetapi ternyata dia cuma minta lima ribu. Kuberikan uang kembalian tadi. Dia kemudian pergi sambil berbicara sesuatu yang tidak jelas. Sebelum pergi dia memetik segenggam bunga euphorbia di depan rumah. dia meremas-remasnya dan menaburkannya di halaman sambil berkata: “ Iki sesuk ngembang okeh, deloken”. Selang beberapa waktu, seiring aku melupakan peristiwa itu sepertinya Allah memudahkan kehidupanku. Banyak order datang dan kesempatan-kesempatan yang tidak terduga dapat kuperoleh sebelumnya. Entah mengapa bermasyarakat juga lebih baik. Hubungan keluarga lebih harmonis. Semua memang berasal dari Allah. Wallahu A’lam.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda