Jumat, 08 Juni 2012

Menikah sambil kuliah

Aku menikah saat masih semester 3. Jargon menikah sambil kuliah kuyakini sebagai sesuatu yang indah. Cerita-cerita dalam novel, ditambah tampilan teman-teman yang sedang menggebu-gebu dalam berpacaran sedikit banyak mengganggu hasrat kewanitaanku. Terlebih pemahamanku tentang pacaran membuatku enggan memperpanjang angan-anganku. Aku memutuskan untuk menikah.

Ternyata jauh panggang dari api. Keindahan yang kuimpikan tidak berselang lama. Apalagi jargon itu. Terasa sangaaaaaat berat menjalani hari. Kuliahku sebelumnya memang terasa sangat mudah. Begitu menikah menjadi berpuluh kali lipat lebih berat. Suamiku malas mengerjakan tugas kuliah. Aku yang mengerjakan. Kebetulan memang kami sekelas. Saat ada tugas apapun, aku mengerjakan dua. Untukku dan suamiku. Terkadang justru dia yang mendapat nilai lebih.

Kesulitan memuncak saat buah hati kami hadir. Waktu itu kami telah menyelesaikan seluruh teori sehingga tinggal mengerjakan skripsi. Suami sangat jarang membantuku untuk urusan apapun. Jangankan membantu. Tugas kuliahnya sendiri saja tidak dikerjakan. Kami, terutama aku disibukkan dengan tugas baruku sebagai seorang ibu. Aku benar-benar memulai dari nol. Aku memilih untuk cuti sejenak dari aktivitas kampus.

Aku tersadar kembali dengan kewajiban skripsiku saat seorang kawan kami diwisuda. Aku tergerak untuk kembali ke kampus. Mengajukan skripsi. Hampir saja kami diskualifikasi. SUami yang tahu pertama kali, langsung menyerah. Hatiku rontok mendengar ceritanya bahwa Kepala Jurusan tidak berkenan menerima judul skripsi kami. Tetapi aku tidak diam saja. Kukejar sampai kemanapun Pak Kajur sebut nama. Ternyata masih dapat kuurus dengan bantuan mantan Kajurku sebelumnya. Yang akhirnya aku memohon kepada beliau untuk menjadi pembimbing skripsiku. Alhamdulillah.

Suamiku ya tetap saja nglokro. Untuk hal seperti itu tentu aku tidak bisa membantu. Sudah sejak semester 3 tugas apapun aku yang membuat. Semua informasi aku carikan. tetapi untuk bergerak, tentu harus dia sendiri. Tetapi semua sia-sia. Terserahlah. Perjalananku baru dimulai kembali.

Sungguh berat meninggalkan putra kecilku. Tetapi Pembimbingku tak putus mendukung. Ujian datang justru dari suami. Aku baru dapat menulis saat putraku tertidur. Memang dia sangat jarang mengasuh bayi kami. saat sholatpun jika aku memintanya untuk menjaga, dia tidak mau. Dia selalu menyuruhku untuk menidurkannya dahulu, bahkan untuk sholat Maghrib. Malam hari saat aku sibuk menulis dan Yassin terbangun, dia enggan meninggalkan televisi untuk sekedar menemani bayi kecil kami. Terpaksa aku beranjak. Namun ketika aku kembali setelah Yassin tertidur, komputer telah diambil alih. Bukan untuk bekerja atau mengerjakan tugas, tetapi untuk bermain kartu. Suamiku paling suka bermain spider solitaire. Jika sudah memegangnya, bisa saja dia tidak tidur semalaman hanya untuk menyelesaikannya. Dan jika aku meminta kembali, belum tentu dia mau memberikan. Seperti itu terjadi hampir setiap malam.

Semua upaya skripsi aku lakukan sendiri. Satu atau dua orang yang paling berjasa adalah para pembimbingku. Suamiku sendiri jika diminta untuk memfoto copy saja dia tidak mau. Sekalipun jika dia kebetulan hendak keluar dan melewati tempat fotocopy. Tidak berhenti sampai disana.

Hal yang sangat terekam jelas adalah saat ujian skripsi. Hari itu hari Sabtu. Jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah meminta dua orang untuk membantuku. Suami dan seorang sahabat dekatku.Aku adalah orang yang takut merepotkan. Oleh karena itu aku hanya meminta orang-orang yang kuanggap paling dekat denganku. Kumohon betul-betul untuk datang sebelum jam pendadaranku dimulai.Selebihnya, aku mengurus sendiri.

Aku memesan snack, makan, kurang lebih untuk 30 orang dosen dan karyawan. Aku meminjam perlengkapan, LCD, OHP (untuk persediaan jika LCD tidak bisa atau sedang dipakai). Aku telah persiapkan dengan mantap penampilanku. Bahkan aku membuat media sebagai Plan B jika ada kemungkinan listrik mati. Aku datang jam 07.00 untuk mempersiapkan mental. Padahal ujian baru dimulai pukul 13.00. Aku sholat, baca quran, baca-baca segala macam yang sudah kusiapkan. Selebihnya aku berdiam diri, berdzikir memohon ketenangan dan kelancaran dalam ujian pendadaranku.

Waktu menunjukkan pukul 12.00. Belum ada tanda-tanda dua orang terdekatku itu hadir. Aku mulai resah. Setelah sholat Dhuhur akhirnya aku lakukan semuanya sendirian. Mengambil kardus makan, Snack sekaligus. Jika dua kali jalan tentu akan memakan waktu. Kemudian aku ambil LCD. Beruntung LCD tidak sedang dipakai, sehingga aku tidak perlu mengambil OHP. 12.45 aku baru datang dari mengambil snack dan kardus makan. Semua mata memandangku. Aku menyadari itu, sayangnya mengapa tidak ada yang tergerak membantu. Bagaimana tidak, tangan kiri membawa seplastik besar kardus makan dan tangan kanan kardus snack. Sementara aku sendiri sedang hamil 8 bulan. Peluh dan keluh hampir saja menumpahkan air mataku. Yaa Allah..

Menjelang ruangan pendadaran aku melihat sahabatku tertegun melihatku. Aku diam. Perlu beberapa waktu baginya untuk berlari-lari mendatangiku. Aku tetap saja diam. Tapi syukurlah.. dia datang. Dia mengira ada banyak orang yang membantuku, sehingga dia tidak segera datang. Dia juga sedang hamil ternyata. Hamil muda, baru 2 bulan. Alhamdulillah ada orang yang di belakang saat aku ujian.

Sebenarnya persiapanku sudah terkoyak oleh kekecewaanku. Tetapi rupanya Allah masih berkenan membantuku menata hati di mnit-menit terakhir. Presentasiku sukses, meski ada satu dosen penguji yang kurang puas. Nilaiku A- . Dan suamiku..

Dia tidak nampak batang hidungnya. Hingga presentasi berakhir.

Yaa Allah.. Semoga suatu saat aku bisa merelakan peristiwa ini dalam rumah tangga kami.

13 Komentar:

Pada 6 Juni 2013 pukul 07.11 , Blogger iefffh mengatakan...

Mungkin saya sedikit komentar,
tulisan anda yang berbentuk curhat ini menarik dan ada beberapa pelajaran yang dapat diambil, tetapi terlepas dari itu setahu saya masalah rumah tangga seperti ini tidak baik untuk dipublikasikan di tempat umum. Saya hanya bermaksud mengingatkan dan semoga doa anda terkabul

 
Pada 6 Juni 2013 pukul 08.53 , Anonymous Anonim mengatakan...

ini mah suaminya aja yg malas..
kalau sama2 mau berjuang, menikah saat masih kuliah akan tetap indah kok..

 
Pada 6 Juni 2013 pukul 09.33 , Anonymous Apapun mengatakan...

kalau kayak gini,
kembali ke komitmen dasar. apakah dia mencintai anda?

 
Pada 6 Juni 2013 pukul 18.19 , Anonymous Anonim mengatakan...

sebenarnya masalah utamanya bukan menikah ketika kuliah, tapi menikah dengan orang yang salah, itulah gunanya pacaran dulu sebelum menikah, untuk meminimalisir kemungkinan menikah dengan laki2 yg bahkan blum layak disebut suami.

 
Pada 6 Juni 2013 pukul 23.20 , Anonymous Anonim mengatakan...

jadi pengen nanya. masih betah sama suami macam itu mbak?

 
Pada 15 September 2013 pukul 19.29 , Blogger Yaa Bunayya mengatakan...

Ya Allah mbak, semoga Allah menilainya sebagai jihad mbak... Mungkin suami mbak adalah ujian u mbak. Tp meski demikian saya tetap tidak menyalahkan ketika mbak memutuskan u lekas menikah ketimbang pacaran. Siapa y bisa menjamin pernikahan y didahului dg berpacaran akan bahagia? Buktinya banyak yang pacaran tapi ketika menikah mereka bercerai?

 
Pada 3 September 2014 pukul 14.20 , Blogger Ana Khasanah mengatakan...

wah, lama gak buka blog, ternyata ada pengunjung.. maaf banget, dulu hanya saya aja pengunjungnya jd PD. btw, gak papa kok @mbak iefffh, saya sudah samarkan identitas.

 
Pada 3 September 2014 pukul 14.24 , Blogger Ana Khasanah mengatakan...

Komitmen dasar, apakah dia mencintai saya? setelah jalan 8 tahun perkawinan saya bisa simpulkan, YA. Hanya saja cara dia mencintai pada awalnya tidak bisa saya mengerti. Karakter dasar seseorang, pola asuh dan lingkungan ternyata sangat mempengaruhi cara dia memperlakukan orang lain.

 
Pada 3 September 2014 pukul 14.30 , Blogger Ana Khasanah mengatakan...

Tentang pacaran sebelum menikah? selama 8 tahun perkawinan saya mulai mengerti bahwa cinta saja ternyata tidak dapat membuat saya bertahan. Hanya keikhlasan dan berserah diri yang dapat membuat saya dapat melewati hujan badai (menurut saya lho..) untuk saat ini, rentang skala masalah sudah semakin lebar. Alhamdulillah, saya tidak terganggu lagi dengan rintik hujan. Jika badai saja dapat terlewati mengapa takut pada hujan rintik-rintik? Insya Allah ujian menjadikan qt semakin kuat

 
Pada 3 September 2014 pukul 14.45 , Blogger Ana Khasanah mengatakan...

@Mbak Endah Purbayani betul betul betul.. memang ujian sy disini mbak. Namun saya dimudahkan dalam hal lain. Anak-anak yang sempurna, lucu, cerdas dan patuh, rizki yang dengan mudah mengalir (di luar nafkah suami), cukuplah untuk membuat saya mengamini, ni,mat Allah yang manakah kudustakan..

 
Pada 5 Juli 2015 pukul 03.06 , Blogger Unknown mengatakan...

Saya kagum dengan kesabaran mu mba,

 
Pada 9 Mei 2017 pukul 22.54 , Anonymous Anonim mengatakan...

Solusi yang anda berikan tidak di benarkan,karna tidak sesuai yang Allah dan rasul-Nya inginkan. Apapun alasannya ,pacaran tidaklah di benarkan.adapun solusinya ialah sebelum menikah hendaknya kita mencaricari informasi tenyang si calon melalui keluarga dekatnya ,sahabat2nya atau yg lainnya. Dan jangan lupa utk memperbaiki diri juga dan berdoa agar di beri jodoh yang baik pula.

 
Pada 30 September 2017 pukul 07.44 , Blogger Unknown mengatakan...

Tapi.. mbak, maaf saya penasaran.. bagaimana ya ceritanya mbak bisa menikah dengan beliau? Pengenalan yg sudah mbak lakukan apa saja? Kenapa.. mbak bisa menikah dengan beliau? Maaf.. saya mencoba belajar, apakah tanpa pacaran.. dengan ta'arufan, maka sudah pasti mendapat suami yang dapat mengayomi?

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda